Jakarta – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas, mengungkap upaya deradikalilasi yang diterapkan di pondok pesantren (ponpes) yang berafiliasi dengan NU. Dia mengatakan ponpes di bawah PBNU mengajarkan agar antara agama dan negara diharmonisasi.
Robikin mengatakan dari sekitar 27.800 ponpes, ada 23.000 ponpes yang ada di bawah koordinasi atau berafiliasi dengan NU. Dia mengatakan di tiap ponpes tersebut diajarkan tentang harmonisasi antara negara dan agama.
“NU melalui KH Hasyim Asyari bahkan sebelum NU itu lahir itu berhasil mengharmoniskan hubungan antara agama dengan negara. Agama di satu sisi dengan negara di sisi lain. Tidak diperhadapkan, tidak terus-menerus dipertentangkan, tapi diharmoniskan,” kata Robikin dalam diskusi Polemik yang digelar daring, Sabtu (3/4/2021).
Dia mengatakan mencintai negara sebagian dari iman menjadi konsep yang diajarkan di pesantren. Konsep ini pun akhirnya menjadi jargon yang selalu digaungkan NU.
“Jargonnya simpel tapi maknanya dalam, yang sudah sangat populer, hubbul wathan minal iman. Nah kalangan penganut ideologi terorisme ini, penganut ideologi kematian, ini menganggap nasionalisme itu sistem setan. NU tidak. Maka di lingkungan NU diajarkan religius-nasionalis,” ujarnya.
“Kalau ada mengatakan punya pemahaman utuh tentang agama tapi ternyata nggak nasionalis maka ada yang keliru dengan diri Anda,” tambah Robikin.
Selain itu dia juga mengkritik sistem pendidikan agama di Indonesia. Robikin menilai sistem pendidikan saat ini seringkali keliru sehingga gagal menangkal paham radikalisme. Robikin menjelaskan PBNU belum mampu menjamah seluruh lapisan masyarakat agar terhindar dari paham radikalisme.
“Jangan juga di Indonesia hanya ada satu kekuatan sipil, ormas bernama NU. Jangan juga, enggak baik juga. Kita ditakdirkan hidup beragam kok. Makanya kita jadikan keragaman ini sebagai kekuatan, tapi saya masih mau melanjutkan, kegagalan dari sistem pendidikan kita, termasuk dalam konteks agama,” ujarnya.
Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia tak mengajarkan ihwal penyelarasan hubungan agama dan negara sehingga banyak orang terpapar paham radikalisme. Menurutnya, orang-orang yang terpapar radikalisme itu tidak dilatarbelakangi pendidikan agama yang cukup namun bermimpi masuk surga dengan cara yang cepat.
“Konteks agama itu adalah tidak mengajarkan bagaimana harmoniskan hubungan antara agama dengan negara. Itu kekeliruan pertama. Maka di lembaga pendidikan umum, itu marak, kalau orang yang terpapar virus radikalisme karena mereka tidak punya latar belakang pendidikan agama yang cukup lalu mimpi segera bisa masuk surga dan melalui cara-cara yang instan, disesatkanlah. Sehingga tidak sampai seperti itu cara pemahamannya,” ungkapnya.
Kemudian, Robikin juga mengkritik soal pendidikan akhlak yang dianggap tak sebanding dengan bobot pendidikan akidah. Bahkan pendidikan akhlak ditempatkan di bidang keilmuan yang lain, bukan pelajaran agama.
“Yang kedua, kritik saya kepada sistem pendidikan kita khususnya pendidikan agama. Di Indonesia ini, di dalam konteks agama, agama apapun, itu selalu punya tiga aspek sekaligus. Aspek teologi, kedua adalah aspek litbang, dan ketiga adalah aspek moral,” tutur dia.
“Jangan kemudian yang diajarkan di sekolahan apalagi di sekolahan umum ya, mohon maaf, bobot pendidikan akidah, tauhid, teologi, dan syariah itu jauh lebih menonjol dibanding dengan pendidikan akhlak. Bahkan pendidikan moral ditarik di dalam lingkup ranah pendidikan yang lain,” lanjut Robikin.
Dia lantas menyarankan agar ketiga aspek tersebut dipadukan dalam sistem pendidikan agama. Sehingga, ketiga aspek itu menjadi satu pijakan penting dalam setiap pemeluk agama ketika hendak melakukan sesuatu.
“Nah ke depan saya berharap ini diperbaiki,” pungkasnya.
(jbr/jbr)