Ramadan tahun ini serasa istimewa. Keistimewaan tersebut ada pada suasana pengajian online via live streaming di Facebook yang diinisiasi oleh beberapa cendekiawan dan kiai-kiai pondok pesantren. Saya menamakan pesantren virtual, pesantren yang cair dan siapapun serta dari latar belakang apapun diperbolehkan mengikutinya.
Dunia maya menjadi semacam pesantren global yang menampung berbagai santri dari berbagai latar belakang untuk mengikuti pengkajian Islam yang diampu oleh seseorang kiai atau cendekiawan muslim. Inilah fungsi lain dari kemanfaatan sosial media di era milenial ini.
Salah satu pengajian daring yang saya ikuti adalah pengajian yang diasuh oleh cendekiawan Nahdhatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdallah dengan mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin dan Faisholut Tafriqoh Baynal Islam waz Zanadiqoh karya Imam Abu Hamid Al-ghazali, setiap malam pukul 21.00 hingga 22.00 WIB.
KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus lewat akun Youtube Gus Mus Channel juga membaca kitab Burdah, kitab yang berisi pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam amatan saya, pengajian live streaming via Facebook sudah berjalan kurang lebih enam tahun. Dan, ini memberikan kontribusi positif dalam mewarnai dunia maya dengan konten Islam rahmatan lil alamin.
Radikalisme
Dewasa ini radikalisme telah menembus dunia media sosial kita. Data yang dihimpun oleh Ma’arif Institute sejak 1990 jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Sebagai contoh, pengguna jejaring sosial Facebook di negeri ini mencapai 35,4 juta orang pada 2013.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, sekitar 65 persen pengguna internet di Indonesia mengakses internet lewat telepon pintar. Sementara mesin pencarian Baidu menyebutkan, ada sekitar 59,9 persen pengguna internet Indonesia mengakses internet lewat telepon pintar.
Data yang dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, 85 persen kaum milenial sangat rentan terpapar paham radikalisme dan terorisme. Selain itu, 47,3 persen pelaku tindak terorisme berasal dari kalangan muda. Kaum muda adalah kelompok yang sangat rentan terpapar paham-paham ini, karena banyak dan selalu berselancar di dunia maya.
Saat ini, kelompok radikal dan terorisme menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan narasi-narasi radikalisme dan terorisme.
Memberi Suara Lain
Pengajian daring sebagaimana yang diadakan oleh kiai dan cendekiawan NU merupakan perwujudan dari keinginan untuk mendeseminasikan gagasan Islam yang moderat, menghargai perbedaan dan keragaman, serta ingin memberikan suara lain kepada warganet.
Ulil Abshar Abdallah misalnya memilih kitab Ihya Ulumiddin yang kesohor sebagai kitab tasawuf karena melihat fenomena maraknya intoleransi dan meningkatnya eskalasi radikalisme yang membahayakan. Sufisme menjadi oase penyejuk kekeringan spiritualitas yang penting untuk dibaca sebagai obat mujarab radikalisme.
Medsos menjadi panggung untuk direbut dan diisi dengan konten-konten sejuk, damai, dan tidak menebarkan ujaran kebencian. Syi’ar pengajian posonan di medsos ternyata menjadi viral dan menjadi pembicaraan. Bahkan Ulil Abshar Abdallah setelah Ramadan kebanjiran tawaran untuk kopdar (kopi darat) mengaji kitab Ihya Ulumiddin di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan hingga ke Korea.
Ramai ngaji Ramadan daring ala pesantren memiliki banyak manfaat. Banyak nilai-nilai yang terdapat di dalam kitab yang diajarkan yang perlu diunggah secara online untuk membendung radikalisme yang marak akhir-akhir ini. Sebagai contoh, dari pengajian kitab Ihya’, tentang pentingnya menjaga hati.
Hati oleh Al-ghazali didefinisikan dengan lathifatun rabbaniyatun ruhaniyah, sesuatu yang lembut, bersifat ketuhanan, yang terdapat dalam diri manusia dan bahkan hakikat kemanusiaan. Hati tidak dalam pengertian organ tunggal yang ada di sebelah kiri dada manusia, tetapi hati dalam konteks ruhaniyyah. Hati menempati posisi yang penting dalam konteks sufisme. Oleh Imam Ghazali diibaratkan sebagai raja atau ratu, sementara tubuh manusia adalah kerajaanya.
Jika hati seseorang baik, maka apa yang dikeluarkan dari anggota tubuhnya juga akan baik, dan sebaliknya jika hati jahat, maka yang keluar dari manusia juga akan jahat dan destruktif. Ketika seseorang bisa menjaga hatinya, dia akan bisa mengontrol apa yang keluar dari mulutnya, atau apa yang akan dituliskan lewat tanganya.
Ketika berhadapan dengan medsos (Twitter, Facebook) seseorang yang bisa mengontrol hati akan lebih mampu untuk menjaga diri tidak menyebarkan berita hoax, atau menyebarkan susupan paham radikal. Dia akan lebih dulu melakukan klarifikasi atau tabayun kepada pihak yang berwenang. Jadi ngaji daring tasawuf sebetulnya juga dapat menjadi benteng pertahanan dari ideologi radikalisme dan terorisme.
Sholahuddin, M.A alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM, Kepala Madrasah Aliyah NU Al-mustaqim, Ketua Aswaja NU Center Jepara