Kamus Sejarah Kemendikbud Tuai Kontroversi, Ini Saran Revisi dari Sejarawan

0
223
JakartaKamus Sejarah Indonesia yang disusun Direktorat Sejarah, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan mendapatkan protes dari sejumlah pihak terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama. Pasalnya kamus ini tidak memasukkan nama pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari.

Kemendikbud sendiri mengakui beredarnya kamus tersebut merupakan kecerobohan. Kamus itu disebut belum final. Mendikbud Nadiem Makarim pun menyatakan Kamus Sejarah Indonesia akan segera disempurnakan.

“Saya memohon restu agar kamus sejarah yang belum pernah dimiliki negara ini dapat kita lanjut sempurnakan bersama agar bermanfaat untuk semua,” ujar Nadiem dalam video yang diunggah di akun Instagram-nya, Rabu (21/4/2021).

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam menilai ada empat aspek yang dibahas dalam Kamus Sejarah Indonesia tersebut. Pertama tokoh, kedua organisasi, ketiga itu peristiwa, dan keempat adalah tempat sejarah.

Menurut Asvi, editor kamus tersebut semestinya memberi penjelasan terkait kriteria pada bagian awal. “Jadi misalnya tokoh yang mau dimasukkan itu apa saja persyaratannya, jadi orang bisa melihat seorang tokoh kenapa ada atau enggak ada (di dalam kamus),” ujar Asvi pada detikEdu, Kamis (22/4/2021).

“Kalau sekarang orang jadi bisa bertanya, misalnya ‘kenapa rektor yang pertama di Gadjah Mada (UGM) Prof. Sardjito tidak masuk (dalam kamus), padahal kan beliau pahlawan nasional?’ . Tetapi kan tidak harus semua pahlawan nasional masuk ke dalam buku itu.”

Ketiadaan kriteria tokoh pada kamus menurut Asvi pasti akan memunculkan pertanyaan. “Akan selalu kurang. Seperti ‘lah kok kenapa ini tidak masuk, kenapa ini tidak’ kan selalu pertanyaannya seperti itu. Tapi kalau ada kriteria yang jelas (jadi terjawab) kalau tokoh yang ditampilkan itu ada persyaratannya.”

Kriteria juga harus diberikan pada aspek peristiwa, organisasi, dan tempat sejarah. “Dengan demikian, orang tidak protes lagi ‘lho kenapa tidak masuk’ begitu,” kata profesor riset bidang sejarah politik LIPI itu menjelaskan.

Asvi juga memaparkan Kamus Sejarah Indonesia Kemendibud itu juga punya masalah menyangkut nama-nama tokoh. Terkait hal itu, Rektor UII Yogyakarta menurut Asvi bahkan merencanakan protes ke Kemendikbud karena tidak menemukan nama Abdul Kahar Muzakir dalam kamus.

Abdul Kahar Muzakir adalah anggota BPUPKI dan pendiri UII Yogyakarta. Padahal tokoh tersebut sebenarnya sudah ada dalam Kamus Sejarah Indonesia.

“Hanya saja rektor mungkin membacanya dari ‘A’, ‘Abdul Kahar Muzakir’, padahal entrinya ada di ‘K’, ‘Kahar Muzakir’. Biasanya di kamus itu misalnya ada tiga (suku kata), nama itu ada di setiap entri, di ‘A’ ada Abdul Kahar Muzakir, tapi ada tulisan ‘lihat Kahar Muzakir,” ujar Asvi.

“Keterangan (isinya) ada di bagian Kahar Muzakir. Jadi seperti itu biasanya di kamus. Sehingga ketika orang mencari di ‘A’, maka harus mengacu ke ‘K’. Nah mungkin itu harus diperbaiki di kamus yang akan direvisi itu.”

Kamus Sejarah Indonesia pun penting untuk mencantumkan sumber rujukan. Sumber itu bisa dari buku atau arsip. Asvi memberi saran agar lebih memudahkan, sumber itu diberi angka saja.

“Jadi nah daftarnya ada di belakang, orang yang mau ngecek tentang tokoh itu, ada rujukannya di bagian belakang kamus. Itu bisa jadi perbaikan juga untuk penerbitan yang akan datang. Guru-guru juga pasti tertolong dengan adanya bahan-bahan ini karena bahan ini sangat sederhana,” kata Asvi.

Misalnya, guru ingin mencari secara cepat peristiwa 10 November di Surabaya atau tokoh yang mengibarkan bendera 17 Agustus 1945. Topik-topik ini seharusnya bisa mudah dicari dengan bantuan Kamus Sejarah Indonesia.

“Kegunaan kamus sejarah seperti itu. Tapi sekali lagi, perbaikannya itu dengan mencantumkan dengan jelas kriteria dalam empat aspek tadi, tokoh, organisasi, peristiwa, dan tempat. Kalau dicantumkan, orang akan maklum kenapa seseorang meskipun pahlawan nasional tapi tidak dimasukkan, atau kenapa seorang tokoh dimasukkan,” katanya.

Sementara sejarawan dari Universitas Sumatera Utara, Budi Agustono berpendapat tim penulis Kamus Sejarah Indonesia perlu memperluas identifikasi tokoh bangsa daerah di panggung nasional masa kolonial, Jepang, kemerdekaan, dan tokoh daerah lainnya yang berkontribusi sumbangsih pemikiran untuk menegakkan bangsa tahun 1950an-1960an.

“Karena ini kamus sejarah jangan ada lagi tokoh daerah tertinggal di kamus sejarah Indonesia. Jika tertinggal akan memunculkan kecemburuan daerah dan ujungnya tidak adil dalam identifikasi tokoh tenar dan berpengaruh di daerah,” ujarnya.

Budi memberi contoh mencari nama Bedjo Dalah seorang tokoh penting masa kemerdekaan 1945-1949 dari Sumatera Utara yang sebelum tahun 1950 dikenal sebagai Sumatera Timur. Ternyata tokoh ini belum dimuat dalam Kamus Sejarah Indonesia tersebut.

Jika hal seperti ini terabaikan akan mengalirkan pandangan ketidakadilan dalam representasi pelaku sejarah.

Untuk representasi tokoh sekaligus memperbaiki dan melengkapi proporsionalitas daerah, menurut Budi Kemendikbud perlu turun lagi ke daerah mengidentifikasi tokoh atau pelaku sejarahnya agar terseleksi dengan baik.

Masukan dari daerah tentang para pelaku sejarah dan seleksinya perlu diperhatikan guna kelengkapan pelaku sejarah. “Tidak saja pelaku sejarah juga misalnya surat kabar, lembaga, organisasi, lokasi bersejarah, atau apa saja,” katanya.

Selain itu menurut Budi, Kemendikbud tidak hanya melengkapi para tokoh atau pelaku sejarah sesuai periodenya, tetapi juga menambah dan merevisi narasinya. “Setiap tokoh hendaknya dinarasikan seimbang, jangan sampai ada pelaku sejarah yang dimuat pendek, yang lain cukup panjang,” katanya.

Untuk ini, penyusun Kamus Sejarah Indonesia perlu melakukan pencarian sumber lisan dan sumber tertulis untuk penyempurnaan penjelasan para tokoh, organisasi, lembaga, surat kabar, istilah tertentu dan sebagainya.

(pal/pal)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments