Surabaya – Nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari tidak dimuat dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I buatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Padahal, dalam sebuah buku karya wartawan luar, Mbah Hasyim disebut sebagai peletak batu pertama kemerdekaan RI.
Buku tersebut merupakan tulisan Sayyid Muhammad Hasan Syihab, seorang wartawan Arab yang pernah meliput revolusi di Indonesia. Buku cetakan Kuwait ini berjudul al-‘allamah Muhammad Hasyim Asyari wa bi’ulafati istiqlali Indonesia. Artinya, maha KH Hasyim Asyari peletak batu pertama kemerdekaan RI.
“Kita semua tahu bagaimana perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari. Sampai ada sebuah buku dari wartawan luar negeri yang pada saat itu beliau berada di Indonesia, yaitu membuat buku yang menyatakan bahwa KH Hasyim Asy’ari itu adalah peletak batu pertama kemerdekaan Indonesia,” kisah Khatib Syuriah PWNU Jatim KH Safruddin Syarif kepada detikcom di Surabaya, Selasa (20/4/2021).
Kiai Safruddin mengisahkan, peran Mbah Hasyim sangat besar bagi kemerdekaan bangsa ini. Mbah Hasyim mengajak para santri melalui kiai untuk bersama mengusir penjajah.
“Artinya beliau sebagai kunci, karena beliau mampu menggerakkan masyarakat Indonesia khususnya kaum santri melalui kiai membentuk sebuah barisan Hizbullah dan kemudian bersama-sama dengan pejuang Indonesia yang nasionalis, kemudian bergerak memerdekakan bangsa ini,” terang Kiai Safruddin.
Tak hanya itu, Kiai Safruddin juga menceritakan saat Indonesia telah merdeka, ada sekutu yang kembali ingin merebut kemerdekaan ini. Lalu, KH Hasyim Asy’ari memberi masukan pada Bung Karno agar tidak lengah.
“Kita tahu ketika pertama kita merdeka pada Agustus, lalu pada Oktober sudah mulai masuk kembali pasukan sekutu untuk menguasai Indonesia dengan alasan untuk menangkap bangsa Jepang yang ada di Indonesia, padahal di belakangnya ada pasukan Belanda yang ingin menguasai Indonesia,” papar Kiai Safruddin.
“Saat itulah Kiai Hasyim Asy’ari yang memberikan masukan kepada Soekarno sebagai presiden, yang sudah datang utusannya kepada beliau jika kita wajib mempertahankan kemerdekaan RI dan kemudian dia mengatakan musyawarah bersama kiai se-Jawa dan Madura akan mengeluarkan sebuah maklumat yang dikenal dengan resolusi jihad,” imbuhnya.
Lalu, resolusi jihad ini membakar semangat bangsa Indonesia pada tanggal 21 Oktober disebarkan pada 22 Oktober melalui sel-sel jaringan para ulama dan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
“Sehingga kemudian tanggal 9 November, orang kemudian berdatangan ke Surabaya untuk mengusir penjajah, terjadilah kemudian aksi 10 November,” jelas Kiai Safruddin.
Tak hanya itu, Kiai Safruddin menambahkan awalnya aksi mengusir penjajah ini dilakukan pada 9 November. Namun, atas pertimbangan KH Hasyim Asy’ari, penyerangan pada sekutu dilakukan 10 November yang dikenal dengan Hari Pahlawan.
“10 November itu adalah hasil daripada Mbah Hasyim Asy’ari. Bahkan pada saat penyerangan tanggal 9 November, rencana dari Bung Tomo itu beliau bilang sama Mbah Hasyim dan beliau yang tidak mengizinkan. Karena masih ada seorang kiai bernama Kiai Abbas Buntet yang menjaga bagian udara, kapal perang musuh, dia yang menjaga, karena beliau punya ajian yang bisa menjatuhkan pesawat musuh pada saat perang,” ungkap Kiai Safruddin.
“Dengan demikian maka sebenarnya peran kiai dan santri inilah yang ada di depan ketika perang 10 November itu. Jika ada pergeseran sejarah yang kita tidak tahu kenapa terjadi seperti itu dan sekarang akan dihapus Mbah Hasyim akan dibuang, itu kita tidak terima,” lanjutnya.
Kiai Safruddin juga menyayangkan adanya nama orang-orang yang tidak berperan dalam kemerdekaan RI, namun dimasukkan dalam kamus sejarah ini.
“Beliau ikhlas dalam perjuangan bangsa, tapi jangan sampai kemudian Indonesia kehilangan keaslian sejarahnya. Orang-orang yang tidak berperan selalu dimunculkan sebagai pejuang dan pahlawan sementara orang-orang yang sungguh-sungguh pahlawan dibenamkan supaya tidak dibaca oleh generasi berikutnya. Tentu ini akan menjadi preseden buruk Sehingga nantinya bangsa ini, menjadi tidak lagi menghormati para pendahulunya,” terang kiai Safruddin.
“Seperti, mohon maaf munculnya kasus ini, sementara tokoh-tokoh PKI dimunculkan. Padahal kita tahu bahwa PKI ini sudah berkali-kali berkhianat kepada bangsa ini dengan membunuh tidak hanya para jenderal tetapi tokoh-tokoh masyarakat oleh karenanya ini adalah suatu hal yang sangat sangat tidak baik bagi bangsa ini,” lanjutnya.
Di kesempatan yang sama, Kiai Safruddin berharap pemerintah bisa meluruskan sejarah ini dengan merevisi kamus sejarah. Salah satu upayanya dengan menggandeng sejumlah sejarawan hingga membaca literasi terpercaya.
“Semoga pemerintah segera mengambil tindakan yang benar dan harus meluruskan kembali dan menggali kembali sejarah yang sesungguhnya. Mumpung masih ada orang-orang yang bisa ditanyakan dan masih ada tulisan yang sesungguhnya, yang bisa kita ambil dari berbagai sumber yang dapat dipercaya,” harap Kiai Safruddin.
sumber : detikcom