Jakarta – Cendekiawan muslim Al Farabi atau Abu Nashr memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, sebuah desa dekat daerah Farab, Kazakhstan tahun 870 M/275 H.
Nama Al-Farabi tersebut diambil dari nama kota kelahirannya tersebut, Kota Farab. Ayahnya adalah seorang opsir keturunan Persia pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana, wilayah otonom Bani Abbasyyah.
Semasa kecil, Al-Farabi dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun belajar. Dalam aspek kebahasaan ia memiliki tutur bahasa yang baik.
Mengutip dari buku Tokoh Filsafat Dunia, Al-Farabi mulai mendalami ilmu pengetahuan seperti ilmu kebahasaan, filsafat, hingga logika saat ia melakukan perjalanan ke Kota Baghdad tahun 922 M.
Kota itu memang dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan pada masanya. Ia pun belajar di kota tersebut selama 10 tahun lamanya.
Bersama Ibnu Suraj, ia mempelajari tata bahasa Arab. Sementara untuk filsafat dan logika, Al-Farabi belajar di bawah bimbingan Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus.
Ia juga pernah belajar dengan tokoh filsuf aliran Alexandria, Yuhana Ibn Hailan, yang mengajaknya pergi ke Konstantinopel dan menetap di sana selama 8 tahun untuk mendalami filsafat.
Saat dewasa, Al-Farabi pindah ke Damaskus dan bertemu dengan seorang bangsawan Damaskus, Saif Al-Daulah Hamdani. Ia pun diberi kepercayaan sebagai ulama dan ilmuwan di istana. Siang harinya ia bekerja sebagai tukang kebun dan belajar teks-teks filsafat pada malam harinya.
Meskipun sepanjang hidupnya akrab dengan kehidupan istana bahkan diberikan imbalan yang besar oleh sang sultan, namun Al-Farabi tetap konsisten menjalani hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan.
Al-Farabi dikenal sebagai cendekiawan muslim yang ahli di bidang filsafat. Selain filsafat, ternyata ia juga menguasai berbagai ilmu pengetahuan lainnya seperti, logika, fisika, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, hingga musik.
Berkat ketertarikan dan kecerdasannya dalam memahami pemikiran filsafat Aristoteles, ia mendapat julukan “Guru atau Master Kedua (al-mu’allim at thani)” setelah Aristoteles, seperti yang dinukil dari tulisan Siti Nutlaela dalam bukunya Mulut yang Terkunci: 50 Kisah Haru Para Sahabat Nabi.
Bahkan Al-Farabi sempat disetarakan dengan Plato dan Socrates. Karya di bidang filsafatnya yang terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah yang isinya tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik.
Para filsuf Barat pun mengakui Al-Farabi sebagai perpanjangan filsuf Yunani, seperti yang dilansir dari detikNews. Kehebatan Al-Farabi dibandingkan dengan filsuf Yunani lain ialah kemampuannya menggabungkan disiplin ilmu-ilmu lain.
Sesuai dengan buku Tokoh Filsafat Dunia, disebutkan bahwa Al-Farabi mendefinisikan bahwa tujuan filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama mengetahui semua wujud.
Bedanya jika filsafat menggunakan dalil-dalil yang kini dan ditujukan golongan tertentu, sedangkan agama menggunakan cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan hingga gambaran yang ditujukan pada semua orang, bangsa, dan negara.
Selain tentang pemikirannya di bidang filsafat, dilansir dari buku Mulut yang Terkunci: 50 Kisah Haru Para Sahabat Nabi, Al-Farabi juga menyumbangkan pemikirannya di dunia musik dan menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar tentang not musik.
Karyanya di bidang musik adalah Kitab Al-Musiqi Al Kabir (Buku Besar Musik) yang membahas ilmu dasar tentang musik. Bahkan buku ini menjadi rujukan penting bagi perkembangan musik klasik barat.
Dalam buku The Attitude of Islam Towards Science and Philosophy: A Translation of Ibn Rushd’s (Averroës) Famous Treatise Faslul-al-Maqal juga menyebutkan bahwa Al-Farabi menulis beberapa risalah terkait teori dan seni musik, hingga pembuatan alat musik.